Senin, 17 Juni 2013

PERAN DAN FUNGSI PERAWAT DALAM KEPERAWATAN ANAK



Peran adalah tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem peran. Secara ringkas Peran dapat diartikan sebagai tingkah laku yang diharapkan. Sedangkan fungsi mempunyai arti dan pengertian tugas yang dilaksanakan sesuai dengan peran perawat. Perawat mempunyai peran dan fungsi yang komplek dan komprehensif dalam dunia kesehatan. Terkait dengan kesehatan anak, maka peran dan tingkah laku yang diharapkan dari seorang perawat antara lain sebagai berikut: Sebagai pelaksana pelayanan perawatan Pendidik Peneglola dalam bidang pelayanan perawatan dan institusi pendidikan keperawatan Sebagai evaluator/peneliti Fungsi/Tugas Perawat Professional Ada 3 fungsi utama perawat professional :
1.      Fungsi mandiri (independent) yaitu melakukan tugas-tugas sesuai dengan otonomi dan kewenangannya. 
2.      Fungsi tergantung (dependent) yaitu saling tergantung dengan sejawat lain dimana fungsi-fungsi ini dikerjakan atu dilakukan atas peran profesi lain 
3.      Fungsi kolaborsi (interdependent) yaitu mengadakan rujukan atau konsultasi ke profesilain untuk bantuan asuhan kesehatn/perawatan/pelayanan kesehatan. 
Ada dua peran utama perawat yang sudah banyak dilaksanakan, yaitu: 
·         Pelaksana pelayanan perawatan kepada anak balita, pra sekolah, masa sekolah.
·         Peran sebagai perawat pengelola yaitu mengelola pelayanan keperawatan anak. 
Apa saja fungsi dan peran perawat di instansi pelayanan kesehatan baik di Rumah Sakit atau Puskesmas? Berikut ini adalah deskripsi yang menunjukkan peran dan fungsi perawat di Rumah Sakit dan Puskesmas 
Peran dan Fungsi Perawat di Rumah Sakit: 
Peran sebagai pelaksana pelayanan kesehatan, Perawat mempunyai fungsi: Menyiapkan fasilitas dan lingkungan poliklinik untuk memudahkan pelayanan, Pengkajian, Pelaksana, yaitu melakukan tindakan darurat ketika diperlukan, Melaksanakan pencatatan dan pelaporan sesuai sistem yang berlaku 
Peran sebagai perawat pengelola, perawat berfungsi: Pembibimbing pekerja kesehatan atau peserta didik yang sedang melakukan praktek, Mengawasi pemeliharaan buku register dan kartu pasien, Menyusun permintaan kebutuhan alat, obat dan bahan yang diperlukan. 
 Peran dan Fungsi Perawat di Puskesmas: 
Peran sebagai pelaksana pelayanan kesehatan, perawat mempunyai fungsi: Mengkaji kebutuhan dan status kesehatan pasien yang datang ke puskesmas, Melakukan tindakan darurat, Melaksanakan sistem pencatatan dan pelaporan mengenai pelaksanaan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Peran sebagai pengelola, perawat mempunyai fungsi: Membimbing prakarya RT, pelaksanaanprogram KIA, Membantu dalam administrasi pasien.
Peran dan fungsi perawat di Posyandu :
Peran sebagai pelaksana pelayanan perawatan, perawat mempunyai fungsi: Memberi imunisasi kepada ibu, bayi dan balita, Melaksanakan penyuluhan kepada pasien, Melaksanakan rujukan, Melaksanakan pencatatan dan pelaporan mengenai pelayanan posyandu Peran sebagai pengelola, perawat mempunyai fungsi: Melatih dan membina kader kesehatan dalam pelaksanaan tugas di posyandu.

EFEKTIFITAS PENGGUNAAN CLOSED SUCTION SYSTEM DALAM MENCEGAH INFEKSI NOSOKOMIAL VENTILATOR ASSISTED PNEUMONIA (VAP) PADA PASIEN DENGAN VENTILATOR



The purpose of this reasearch is to describe the effectiveness of Closed Suction System(CSS) to  prevent VAP using clinical pulmonary infection score (CPIS). The research method used is  Quasi-Experiment with post test reseach design. The research was conducted at Awal Bros Hospital. The total responden in the research 30 respondents who were divided into two groups:  group CSS as many as 15 people and groups Open Suction System (OSS) as many as 15 people. Sampling technique of purposive sampling. The data was by Chi-Squaret. The studys showed  that there is not significan differences betweenCSS and OSS( p: 0.203). Based on the result of  study, the reasercher suggested that for future reseacher have to add more the total responden and make homogen of characteristic of resppondent. Key words: Closed suction system, open suction system, nosokomial infection VAP Bibliography: 32 (2002-2012)

PENDAHULUAN
Penggunaan ventilasi mekanik menimbulkan efek samping dan komplikasi,salah satunya adalah infeksi jalan  nafas.  Infeksi jalan nafas yang berhubungan dengan pemakaian ventilator dikenal dengan Ventilator Assisted Pneumonia (VAP) (Jones, 2009). Hal ini diakibatkan salah satunya karena tindakan suction yang dilakukan untuk mempertahankan efektifnya jalan nafas, merangsang batuk, membersihkan sekret pada pasien yang terpasang endotracheal tube (Smith, 2004). Tindakan suction merupakan suatu prosedur penghisapan lendir, yang dilakukan dengan memasukkan selang kateter suction melalui selang endotracheal. Selang kateter suction yang digunakan ada dua tipe yaitu Closed Suction System (CSS) dan Open Suction System (OSS). Penggunaan CSS digunakanpada pasien yang terpasang endotracheal atau ventilator, terutama dalam pencegahan hipoxemia dan infeksi nosokomial VAP (Ozcan, 2006).Closed Suction System digunakan untuk mencegah kontaminasi udara luar,  kontaminasi pada petugas dan pasien, mencegah kehilangan suplai udara paru, mencegah terjadinya hipoksemia, mencegah penurunan saturasi oksigen selama dan sesudah melakukan suction, menjaga tekanan positive pressure ventilasi dan PEEP, terutama pasien yang sensitif bila lepas dari ventilator seperti pasien apnoe atau pasien yang butuh PEEP tinggi (Masry, 2005). Secara unit cost menggunakan Closed Suction System (CSS) lebih efektif  Open Suction System (OSS) karena tidak memerlukan dua tenaga, tidak menggunakan glove steril, dan tidak sering menganti kateter suction. (Rabitsch, 2004).Pneumonia nosokomial menduduki urutan ke-2 sebagai infeksi nosokomial di Rumah Sakit di Amerika Serikat. Angka kejadian pneumonia nosokomial berkisar 5-10 kasus per 1000 pasien, angka kejadian meningkat 6-20 kali pada pasien yang terpasang ventilator, angka kematian berkisar 20-50%. Angka kejadian pneumonia nosokomial 5-10 per 1000 pasien di Jepang, angka kejadian pneumonia karena pemasangan ventilator berkisar 20-30%. Kejadian infeksi nosokomial karena ventilator secara nasional belum ada di Indonesia, yang ada hanya data dari beberapa rumah sakit swasta atau pemerintah dan angkanya masih bervariasi (PDIP, 2003).Pasien ICU terutama yang terpasang alat invasif seperti ventilator, mudah terjadinya infeksi nosokomial VAP, sehingga perlu prinsip kesterilan, penggunaan alat dan tindakan keperawatan yang tepat dalam bekerja. Berdasarkan penjelasan tentang keuntungan penggunaan closed suction system, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang efektifitas penggunaan closed suction system dalam mencegah infeksi nosokomial VAP pada pasien yang terpasang ventilator. Rumah Sakit Awal Bros Pekanbaru adalah tempat yang peneliti pilih dalam melakukan riset, dikarenakan Rumah Sakit Awal Bros merupakan rumah sakit swasta terbesar dan terlengkap di Pekanbaru yang memiliki jumlah pasien yang cukup banyak. Infeksi nosokomial saluran pernafasan merupakan masalah yang sering terjadi pada pasien  yang menggunakan ventilator di ruang ICU (Rabitsch, 2004), sehingga perawat perlu penggunaan alat yang tepat untuk mencegahnya, Namun belum ada referensi yang menentukan seorang perawat supaya penggunaan CSS atau OSS. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka rumusan permasalahan dari penelitian adalah Apakah“Efektif penggunaan closed suction system dalam pencegahan infeksi nosokomial ventilator assisted pneumonia (VAP) pada pasien dengan ventilator”.Tujuan penelitian adalah Mengidentifikasi kejadian infeksi nosokomial VAP setelah penggunaan closed suction system pada pasien terpasang ventilato. Mengidentifikasi kejadian infeksi nosokomial VAP setelah penggunaan open suction system pada pasien terpasang ventilator. Mengidentifikasi keefektifan closed suction system terhadap pencegahan infeksi nosokomial VAP pada pasien terpasang ventilator.

METODELOGI PENELITIAN
Desain penelitian merupakan suatu strategi penelitian dalam mengidentifikasi sebelum perencanaan akhir pengumpulan data (Nursalam, 2003). Penelitian ini menggunakan Quasiexperimental dengan rancangan post test design, rancangan ini melibatkan kelompok eksperimen menggunakan closed suction system dan kelompok kontrol menggunakan open suction system. Kedua kelompok dilakukan post test setelah 3 hari pemakaian ventilator, untuk melihat kejadian infeksi nosokomial VAP (Notoatmodjo, 2010). Melalui desain ini dapat dilihat bagaimana keefektifan penggunaan closed suction system dalam mencegah terjadinya infeksi nosokomial VAP pada pasien dengan Ventilator. Penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh pasien yang terpasang ventilator di ruang ICU Rumah Sakit Awal Bros Pekanbaru. Data jumlah pasien yang terpasang ventilator bulan November dan Desember 2012 berjumlah 30 pasien.Populasi adalah keseluruhan objek atau subjek yang memiliki karakteristik tertentu yang diteliti (Notoatmodjo, 2010). Penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh pasien yang terpasang ventilator di ruang ICU Rumah Sakit Awal Bros Pekanbaru. Data jumlah pasien yang terpasang ventilator bulan November dan Desember 2012 berjumlah 30 pasien.Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan teknik purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel dari populasi yang sesuai dengan keinginan peneliti berdasarkan tujuan ataupun masalah penelitian serta karakteristik subjek yang diinginkan (Nursalam, 2003). Teknik pengambilan sampel dilakukan atas dasar pertimbangan waktu, keterbatasan biaya, tenaga, dan tempat. Peneliti mengambil sample sebanyak 30 orang, perlakukan pertama pada 15 kelompok eksperimen menggunakan closed suction system dan perlakuan kedua pada 15 orang kelompok kontrol menggunakan open suction system sesuai dengan teori Burn danGrove, 2005. Dalam melakukan pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan alat ukur dengan lembar observasi. Lembar observasi berisi tentang ada atau tidaknya kejadian infeksi nosokomial VAP. Hal-hal yang diobservasi adalah suhu tubuh, leukosit darah, sekret trakhea,oksigenasi/PaO2, Ro thorax, dan kultur sputum bila ditemui gejala klinis. Skor dari lembar observasi dikatakan terjadi infeksi nosokomial VAP bila skornya > 6  (Jones & Fix, 2009).Pada analisa ini digunakan uji non parametrik Chi-Square. digunakan untuk mengetahui efektifitas closed suction system (kelompok eksperimen) dan open suction system (kelompok kontrol) dalam mencegah infeksi nosokomial pada pasien terpasang ventilator. Derajat kemaknaan (α) yang digunakan pada uji ini adalah 0,05. Bila uji statistik didapatkan p value < α (0,05), maka penggunaan System Closed Suction efektif dalam mencegah infeksi nosokomial pada pasien terpasang ventilator (Hastono, 2007).

PEMBAHASAN
Menggunakan uji Chi-Square pada kelompok closed suction system dan open suction system dengan tingkat kepercayaan 95%, diketahui tidak ada perbedaan yang signifikan antara penggunaan closed suction system dan open suction system terhadap kejadian infeksi nosokomial ventilator asissted pneumonia VAP, sehingga dapat disimpulkan bahwa closed suction system tidak lebih efektif dari open suction systemdalam mencegah infeksi nosokomial ventilator assisted pneumonia pada pasien dengan ventilator. Pada penelitian ini berbeda dengan konsep penelitian sebelumnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh singkatnya hari rawat pasien, jumlah pasein yang digunakan sebagai responden, selain itu berdasarkan hasil observasi yang dilakukan bahwa semua perawat ICU komitmen terhadap teknik steril saat melakukan suction pada pasien yang menggunakan open suction system, selain itu juga karena adanya penggunaan antibiotik pada seluruh responden dimulai dari awal perawatan. Dilihat dari segi cost effective berdasarkan penelitian tentang keuntungan penggunaan closed suction system yang dilakukan oleh Sugiyanto dan Lanjar, 2000, melalui analisa biaya-mamfaat secara normatif dengan standarisasi biaya operasional untuk 1 minggu masing-masing kateter mempunyai tingkat coct effektive berbeda, dimana penggunaan closed suction system memberikan tingkat cost effectiveness yang lebih baik dibandingkan dengan open suction system.

                                                                KESIMPULAN
Setelah dilakukan penelitian tentang “Efektifitas penggunaan closed suction system dalam mencegah kejadian infeksi nosokomial VAP pada pasien dengan ventilator”, maka dapat disimpulkan bahwa kejadian VAP tidak dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin, baik menggunakan closed suction system dan open suction system. Kejadian VAP dengan penggunaan closed suction system sebanyak 2 orang (13,3%) dan kejadian VAP dengan menggunakan open suction system adalah 5 orang (33.3%).Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi-Square didapatkan nilai p = 0,195berarti pada alpha 5% terlihat tidak ada perbedaan yang signifikan rata-rata jumlah kejadian VAP menggunakan closed suction system dengan open suction system, dimana closed suction system tidak lebih efektif dari open suction system.

Daftar Pustaka
Timby, K. B. (2006) Perawatan medikal bedah. vol 4, Jakarta: ECG.
Wahyono. (2010). Hubungan antara pengetahuan perawat tentang prosedur suction dengan pelaksanaan dalam melakukan tindakan suction. Journal EBSCO. Diperoleh 10 Juni 2012 dari jtptunimus-gdlwiyotog2a2-5560-bab I pdf.
Wiryana, M. (2007). Ilmu penyakit dalam. Vol 8, No. 3. Jakarta: FKUI

ASUHAN KEPERAWATAN BATU GINJAL



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Batu ginjal merupakan batu saluran kemih (urolithiasis), sudah dikenal sejak zaman Babilonia dan Mesir kuno dengan diketemukannya batu pada kandung kemih mummi. Batu saluran kemih dapat diketemukan sepanjang saluran kemih mulai dari sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, buli-buli dan uretra. Batu ini mungkin terbentuk di di ginjal kemudian turun ke saluran kemih bagian bawah atau memang terbentuk di saluran kemih bagian bawah karena adanya stasis urine seperti pada batu buli-buli karena hiperplasia prostat atau batu uretra yang terbentu di dalam divertikel uretra.
Penyakit batu saluran kemih menyebar di seluruh dunia dengan perbedaan di negara berkembang banyak ditemukan batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai batu saluran kemih bagian atas (gunjal dan ureter), perbedaan ini dipengaruhi status gizi dan mobilitas aktivitas sehari-hari. Angka prevalensi rata-rata di seluruh dunia adalah 1-12 % penduduk menderita batu saluran kemih.
Penyebab terbentuknya batu saluran kemih diduga berhubungan dengan gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik).
1.2 Permasalahan
Adapun permasalahan yang kelompok kami angkat dalam makalah ini adalah:
1). Apakah yang dimaksud dengan Urinary calculi (Batu Ginjal)?
2).   Bagaimanakah etiologi dari Urinary calculi (Batu Ginjal)?
3).   Bagaimanakah manifestasi klinis dari Urinary calculi (Batu Ginjal)?
4).   Bagaimanakah patofisiologi Urinary calculi (Batu Ginjal)?
5).   Bagaimana komplikasi dari Urinary calculi (Batu Ginjal)?
6).   Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Pasien Urinary calculi (Batu Ginjal)?
1.3 Tujuan
1). Memahami pengertian, penyebab, jenis, serta tanda dan gejala yang muncul pada penyakit Urinary calculi (Batu Ginjal).
2). Menggunakan proses keperawatan sebagai kerangka kerja untuk perawatan pasien penderita Urinary calculi (Batu Ginjal).
3). Menguraikan prosedur perawatan yang digunakan untuk pasian penderita Urinary calculi (Batu Ginjal).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Urinary Calculy (Batu Ginjal)
Batu di dalam saluran kemih (Urinary Calculi) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih).  Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis renalis, nefrolitiasis).
2.2 Etiologi Urinary Calculy (Batu Ginjal)
Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih yang dibedakan sebagai faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik yaitu:
1). Faktor intrinsik, meliputi:
Herediter; diduga dapat diturunkan dari generasi ke generasi.
Umur; paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun.
Jenis kelamin; jumlah pasien pria 3 kali lebih banyak dibanding pasien wanita.
2). Faktor ekstrinsik, meliputi:
Geografi; pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu).
Iklim dan temperatur.
Asupan air; kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.
Diet; diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya batu saluran kemih.
Pekerjaan; penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau kurang aktivitas fisik (sedentary life).
Ada beberapa teori tentang terbentuknya Batu saluran kemih adalah:
1). Teori nukleasi: Batu terbentuk di dalam urine karena adanya inti batu atau sabuk batu (nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan kelewat jenuh akan mengendap di dalam nukleus itu sehingga akhirnya membentuk batu. Inti bantu dapat berupa kristal atau benda asing saluran kemih.
2). Teori matriks: Matriks organik terdiri atas serum/protein urine (albumin, globulin dan mukoprotein) sebagai kerangka tempat mengendapnya kristal-kristal batu.
3). Penghambat kristalisasi: Urine orang normal mengandung zat penghambat pembentuk kristal yakni magnesium, sitrat, pirofosfat, mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat ini berkurang akan memudahkan terbentuknya batu dalam saluran kemih.
2.3 Patofisiologi Urinary Calculy (Batu Ginjal)
Batu saluran kemih dapat menimbulkan penyulit berupa obstruksi dan infeksi saluran kemih. Manifestasi obstruksi pada saluran kemih bagian bawah adalah retensi urine atau keluhan miksi yang lain sedangkan pada batu saluran kemih bagian atas dapat menyebabkan hidroureter atau hidrinefrosis. Batu yang dibiarkan di dalam saluran kemih dapat menimbulkan infeksi, abses ginjal, pionefrosis, urosepsis dan kerusakan ginjal permanen (gagal ginjal).
2.4 Jenis- jenis Batu Ginjal
Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur: kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP), xanthyn dan sistin. Pengetahuan tentang komposisi batu yang ditemukan penting dalam usaha pencegahan kemungkinan timbulnya batu residif.
1). Batu Kalsium
Batu kalsium (kalsium oksalat dan atau kalsium fosfat) paling banyak ditemukan yaitu sekitar 75-80% dari seluh batu saluran kemih. Faktor tejadinya batu kalsium adalah:
Hiperkasiuria: Kadar kasium urine lebih dari 250-300 mg/24 jam, dapat terjadi karena peningkatan absorbsi kalsium pada usus (hiperkalsiuria absorbtif), gangguan kemampuan reabsorbsi kalsium pada tubulus ginjal (hiperkalsiuria renal) dan adanya peningkatan resorpsi tulang (hiperkalsiuria resoptif) seperti pada hiperparatiridisme primer atau tumor paratiroid.
Hiperoksaluria: Ekskresi oksalat urien melebihi 45 gram/24 jam, banyak dijumpai pada pasien pasca pembedahan usus dan kadar konsumsi makanan kaya oksalat seperti the, kopi instan, soft drink, kakao, arbei, jeruk sitrun dan sayuran hijau terutama bayam.
Hiperurikosuria: Kadar asam urat urine melebihi 850 mg/24 jam. Asam urat dalam urine dapat bertindak sebagai inti batu yang mempermudah terbentuknya batu kalsium oksalat. Asam urat dalam urine dapat bersumber dari konsumsi makanan kaya purin atau berasal dari metabolisme endogen.
Hipositraturia: Dalam urine, sitrat bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium sitrat sehingga menghalangi ikatan kalsium dengan oksalat atau fosfat. Keadaan hipositraturia dapat terjadi pada penyakit asidosis tubuli ginjal, sindrom malabsorbsi atau pemakaian diuretik golongan thiazide dalam jangka waktu lama.
Hipomagnesiuria: Seperti halnya dengan sitrat, magnesium bertindak sebagai penghambat timbulnya batu kalsium karena dalam urine magnesium akan bereaksi dengan oksalat menjadi magnesium oksalat sehingga mencegah ikatan dengan kalsium ddengan oksalat.
2). Batu Struvit
Batu struvit disebut juga batu sebagai batu infeksi karena terbentuknya batu ini dipicu oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi ini adalah golongan pemecah urea (uera splitter seperti: Proteus spp., Klebsiella, Serratia, Enterobakter, Pseudomonas dan Stafilokokus) yang dapat menghasilkan enzim urease dan mengubah urine menjadi basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak. Suasana basa ini memudahkan garam-garam magnesium, amonium, fosfat dan karbonat membentuk batu magnesium amonium fosfat (MAP) dan karbonat apatit.
3). Batu Urat
Batu asam urat meliputi 5-10% dari seluruh batu saluran kemih, banyak dialami oleh penderita gout, penyakit mieloproliferatif, pasein dengan obat sitostatika dan urikosurik (sulfinpirazone, thiazide dan salisilat). Kegemukan, alkoholik dan diet tinggi protein mempunyai peluang besar untuk mengalami penyakit ini. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya batu asam urat adalah: urine terlalu asam (pH < 6, volume urine < 2 liter/hari atau dehidrasi dan hiperurikosuria.
2.5 Gambaran Klinik dan Diagnosis
Keluhan yang disampaikan pasien tergantung pada letak batu, besar batu dan penyulit yang telah terjadi. Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan nyeri ketok di daerah kosto-vertebra, teraba ginjal pada sisi yang sakit akibat hidronefrosis, ditemukan tanda-tanda gagal ginjal, retensi urine dan jika disertai infeksi didapatkan demam/menggigil.
Pemeriksaan sedimen urine menunjukan adanya lekosit, hematuria dan dijumpai kristal-kristal pembentuk batu. Pemeriksaan kultur urine mungkin menunjukkan adanya adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.
Pemeriksaan faal ginjal bertujuan mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal dan untuk mempersipkan pasien menjalani pemeriksaan foto PIV. Perlu juga diperiksa kadar elektrolit yang diduga sebagai penyebab timbulnya batu salran kemih (kadar kalsium, oksalat, fosfat maupun urat dalam darah dan urine).
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan melihat kemungkinan adanya batu radio-opak dan paling sering dijumpai di atara jenis batu lain. Batu asam urat bersifat non opak (radio-lusen).
Pemeriksaan pieolografi intra vena (PIV) bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi opak atau batu non opak yang tidak tampak pada foto polos abdomen.
Ultrasongrafi dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV seperti pada keadaan alergi zat kontras, faal ginjal menurun dan pada pregnansi. Pemeriksaan ini dapat menilai adanya batu di ginjal atau buli-buli (tampak sebagai echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis atau pengkerutan ginjal.
2.6 Gejala Urinary Calculy (Batu Ginjal)
Batu, terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala.  Batu di dalam kandung kemih bisa menyebabkan nyeri di perut bagian bawah.
Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalisbisa menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat). Kolik renalis ditandai dengan nyeri hebat yang hilang-timbul, biasanya di daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggang, yang menjalar ke perut, daerah kemaluan dan paha sebelah dalam.
Gejala lainnya adalah mual dan muntah, perut menggelembung, demam, menggigil dan darah di dalam air kemih. Penderita mungkin menjadi sering berkemih, terutama ketika batu melewati ureter.
Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat aliran kemih, bakteri akan terperangkap di dalam air kemih yang terkumpul diatas penyumbatan, sehingga terjadilah infeksi. Jika penyumbatan ini berlangsung lama, air kemih akan mengalir balik ke saluran di dalam ginjal, menyebabkan penekanan yang akan menggelembungkan ginjal (hidronefrosis) dan pada akhirnya bisa terjadi kerusakan ginjal.
2.7 Asuhan Keperawatan
1). Pengkajian
Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik: berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah:
Aktivitas/istirahat:
Gejala    :  Riwayat pekerjaan monoton, aktivitas fisik rendah, lebih banyak duduk
Riwayat bekerja pada lingkungan bersuhu tinggi
Keterbatasan mobilitas fisik akibat penyakit sistemik lainnya (cedera serebrovaskuler, tirah baring lama)
Sirkulasi
Tanda    :  Peningkatan TD, HR (nyeri, ansietas, gagal ginjal)
Kulit hangat dan kemerahan atau pucat
Eliminasi
Gejala    :  Riwayat ISK kronis, obstruksi sebelumnya
Penurunan volume urine
Rasa terbakar, dorongan berkemih
Diare
Tanda    :  Oliguria, hematuria, piouria
Perubahan pola berkemih
Makanan dan cairan:
Gejala    :  Mual/muntah, nyeri tekan abdomen
Riwayat diet tinggi purin, kalsium oksalat dan atau fosfat
Hidrasi yang tidak adekuat, tidak minum air dengan cukup
Tanda    :  Distensi abdomen, penurunan/tidak ada bising usus
Muntah
Nyeri dan kenyamanan:
Gejala    :  Nyeri hebat pada fase akut (nyeri kolik), lokasi nyeri tergantung lokasi batu (batu ginjal menimbulkan nyeri dangkal konstan)
Tanda    :  Perilaku berhati-hati, perilaku distraksi
Nyeri tekan pada area ginjal yang sakit
Keamanan:
Gejala    :  Penggunaan alkohol
Demam/menggigil
Penyuluhan/pembelajaran:
Gejala    :  Riwayat batu saluran kemih dalam keluarga, penyakit ginjal, hipertensi, gout, ISK kronis
Riwayat penyakit usus halus, bedah abdomen sebelumnya, hiperparatiroidisme
Penggunaan antibiotika, antihipertensi, natrium bikarbonat, alopurinul, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium atau vitamin.
2). Diagnosa Keperawatan
Nyeri (akut) b/d peningkatan frekuensi kontraksi ureteral, taruma jaringan, edema dan iskemia seluler.
Perubahan eliminasi urine b/d stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal dan ureter, obstruksi mekanik dan peradangan.
Kekurangan volume cairan (resiko tinggi) b/d mual/muntah (iritasi saraf abdominal dan pelvis ginjal atau kolik ureter, diuresis pasca obstruksi.
Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
3). Intervensi Keperawatan
Nyeri (akut) b/d peningkatan frekuensi kontraksi ureteral, taruma jaringan, edema dan iskemia seluler.
No
Intervensi
Rasional
1
Catat lokasi, lamanya/intensitas nyeri (skala 1-10) dan penyebarannya. Perhatiakn tanda non verbal seperti: peningkatan TD dan DN, gelisah, meringis, merintih, menggelepar.
Membantu evaluasi tempat obstruksi dan kemajuan gerakan batu. Nyeri panggul sering menyebar ke punggung, lipat paha, genitalia sehubungan dengan proksimitas pleksus saraf dan pembuluh darah yang menyuplai area lain. Nyeri tiba-tiba dan hebat dapat menimbulkan gelisah, takut/cemas.
2
Jelaskan penyebab nyeri dan pentingnya melaporkan kepada staf perawatan setiap perubahan karakteristik nyeri yang terjadi.
Melaporkan nyeri secara dini memberikan kesempatan pemberian analgesi pada waktu yang tepat dan membantu meningkatkan kemampuan koping klien dalam menurunkan ansietas.
3
Lakukan tindakan yang mendukung kenyamanan (seperti masase ringan/kompres hangat pada punggung, lingkungan yang tenang)
Meningkatkan relaksasi dan menurunkan ketegangan otot
4
Bantu/dorong pernapasan dalam, bimbingan imajinasi dan aktivitas terapeutik
Mengalihkan perhatian dan membantu relaksasi otot
5
Batu/dorong peningkatan aktivitas (ambulasi aktif) sesuai indikasi disertai asupan cairan sedikitnya 3-4 liter perhari dalam batas toleransi jantung.
Aktivitas fisik dan hidrasi yang adekuat meningkatkan lewatnya batu, mencegah stasis urine dan mencegah pembentukan batu selanjutnya.
6
Perhatikan peningkatan/menetapnya keluhan nyeri abdomen.
Obstruksi lengkap ureter dapat menyebabkan perforasi dan ekstravasasiurine ke dalam area perrenal, hal ini merupakan kedaruratan bedah akut.
7
Kolaborasi pemberian obat sesuai program terapi:
Analgetik,
Antispasmodik,
Kortikosteroid
Analgetik (gol. narkotik) biasanya diberikan selama episode akut untuk menurunkan kolik ureter dan meningkatkan relaksasi otot/mental
Menurunkan refleks spasme, dapat menurunkan kolik dan nyeri.
Mungkin digunakan untuk menurunkan edema jaringan untuk membantu gerakan batu.
8
Pertahankan patensi kateter urine bila diperlukan
Mencegah stasis/retensi urine, menurunkan risiko peningkatan tekanan ginjal dan infeksi
Perubahan eliminasi urine b/d stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal dan ureter, obstruksi mekanik dan peradangan.
No
Intervensi
Rasional
1
Awasi asupan dan haluaran, karakteristik urine, catat adanya keluaran batu
Memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi. Penemuan batu memungkinkan identifikasi tipe batu dan mempengaruhi pilihan terapi
2
Tentukan pola berkemih normal klien dan perhatikan variasi yang terjadi
Batu saluran kemih dapat menyebabkan peningkatan eksitabilitas saraf sehingga menimbulkan sensasi kebutuhan berkemih segera. Biasanya frekuensi dan urgensi meningkat bila batu mendekati pertemuan uretrovesikal.
3
Dorong peningkatan asupan cairan.
Peningkatan hidrasi dapat membilas bakteri, darah, debris dan membantu lewatnya batu
4
Observasi perubahan status mental, perilaku atau tingkat kesadaran
Akumulasi sisa uremik dan ketidakseimbangan elektrolit dapat menjadi toksik pada SSP
5
Pantau hasil pemeriksaan laboratorium (elektrolit, BUN, kreatinin)
Peninggian BUN, kreatinin dan elektrolit menjukkan disfungsi ginjal
6
Berikan obat sesuai indikasi:
Asetazolamid (Diamox), Alupurinol (Ziloprim)
Hidroklorotiazid (Esidrix, Hidroiuril), Klortalidon (Higroton)
Amonium klorida, kalium atau natrium fosfat (Sal-Hepatika)
Agen antigout mis: Alupurinol (Ziloprim)
Antibiotika
Natrium bikarbonat
Asam askorbat
Meningkatkan pH urine (alkalinitas) untuk menurnkan pembentukan batu asam.
Mencegah stasis urine ddan menurunkan pembentukan batu kalsium.
Menurunkan pembentukan batu fosfat
Menurnkan produksi asam urat.
Mungkin diperlukan bila ada ISK
Mengganti kehilangan yang tidak dapat teratasi selama pembuangan bikarbonat dan atau alkalinisasi urine, dapat mencegah pemebntukan batu.
Mengasamkan urine untuk mencegah berulangnay pembentukan batu alkalin
7
Pertahankan patensi kateter tak menetap (uereteral, uretral atau nefrostomi).
Mungkin diperlukan untuk membantu kelancaran aliran urine.
8
Irigasi dengan larutan asam atau alkali sesuai indikasi
Mengubah pH urien dapat membantu pelarutan batu dan mencegah pembentukan batu selanjutnya
9
Siapkan klien dan bantu prosedur endoskopi
Berbagai prosedur endo-urologi dapat dilakukan untuk mengeluarkan batu.
Kekurangan volume cairan (resiko tinggi) b/d mual/muntah (iritasi saraf abdominal dan pelvis ginjal atau kolik ureter, diuresis pasca obstruksi.
No
Intervensi
Rasional
1
Awasi asupan dan haluaran
Mengevaluasi adanya stasis urine/kerusakan ginjal.
2
Catat insiden dan karakteristik muntah, diare.
Mual/muntah dan diare secara umum berhubungan dengan kolik ginjal karena saraf ganglion seliaka menghubungkan kedua ginjal dengan lambung.
3
Tingkatkan asupan cairan 3-4 liter/hari
Mempertahankan keseimbangan cairan untuk homeostasis, juga dimaksudkan sebagai upaya membilas batu keluar.
4
Awasi tanda vital
Indikator hiddrasi/volume sirkulasi dan kebutuhan intervensi.
5
Timbang berat badan setiap hari
Peningkatan BB yang cepat mungkin berhubungan dengan retensi.
6
Kolaborasi pemeriksaan HB/Ht dan elektrolit.
Mengkaji hidrasi dan efektiviatas intervensi.
7
Berikan cairan infus sesuai program terapi.
Mempertahankan volume sirkulasi (bila asupan per oral tidak cukup)
8
Kolaborasi pemberian diet sesuai keadaan klien
Makanan mudah cerna menurunkan aktivitas saluran cerna, mengurangi iritasi dan membantu mempertahankan cairan dan keseimbangan nutrisi.
9
Berikan obat sesuai program terapi (antiemetik misalnya Proklorperasin/ Campazin).
Antiemetik mungkin diperlukan untuk menurunkan mual/muntah.
Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
No
Intervensi
Rasional
1
Tekankan pentingnya memperta-hankan asupan hidrasi 3-4 liter/hari
Pembilasan sistem ginjal menurunkan kesemapatan stasis ginjal dan pembentukan batu.
2
Kaji ulang program diet sesuai indikasi
Jenis diet yang diberikan disesuaikan dengan tipe batu yang ditemukan
3
Diet rendah purin
Idem
4
Diet rendah kalsium
Idem
5
Diet rendah oksalat
Idem
6
Diet rendah kalsium/fosfat
Idem
7
Diskusikan program obat-obatan, hindari obat yang dijual bebas
Idem.
8
Jelaskan tentang tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik (nyeri berulang, hematuria, oliguria)
Obat-obatan yang diberikan bertujuan untuk mengoreksi asiditas atau alkalinitas urine tergantung penyebab dasar pembentukan batu
9
Tunjukkan perawatan yang tepat terhadap luka insisi dan kateter bila ada
Meningkatakan kemampuan rawat diri dan kemandirian.
4). Implementasi Keperawatan
Lakukan tindakan sesuai dengan apa yang harus anda lakukan pada saat itu. Dan catat apa pun yang telah anda lakukan pada pasien.
5). Evaluasi Keperawatan
Evalusi tidakan yang telah diberikan. Jika keadaan pasien mulai membaik. Hentikan tindakan. Sebaliknya, jika keadaan pasien memburuk, intervensi harus mengalami perubahan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan sebelumnya adalah:
Batu di dalam saluran kemih (Urinary Calculi) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi.
Faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih yang dibedakan sebagai faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.
Patofisiolofi dari batu ginjal di mulai dari  Infeksi è Pielonefritis è Ureritis è Sintitisè Hidronefrosis è Hidroureter è Pionefrosis è Urosepsis.
Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur: kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP), xanthyn dan sistin. Pengetahuan tentang komposisi batu yang ditemukan penting dalam usaha pencegahan kemungkinan timbulnya batu residif.
Pemeriksaan faal ginjal bertujuan mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal dan untuk mempersipkan pasien menjalani pemeriksaan foto PIV.
Terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala.  Batu di dalam kandung kemih bisa menyebabkan nyeri di perut bagian bawah. Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupuntubulus renalis bisa menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat).
Asuhan Keperawatan pada pasien batu ginjal dimulai dari pengkajian sampai tahap evaluasi.
3.2 Saran
Pencegahan
Setelah batu dikelurkan, tindak lanjut yang tidak kalah pentingnya adalahupaya mencegah timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7%/tahun atau kambuh >50% dalam 10 tahun.
Prinsip pencegahan didasarkan pada kandungan unsur penyusun batu yang telah diangkat. Secara umum, tindakan pencegahan yang perlu dilakukan adalah:
Menghindari dehidrasi dengan minum cukup, upayakan produksi urine 2-3 liter per hari
Diet rendah zat/komponen pembentuk batu
Aktivitas harian yang cukup
Medikamentosa
Beberapa diet yang dianjurkan untuk untuk mengurangi kekambuhan adalah:
Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam.
Rendah oksalat
Rendah garam karena natiuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuria
Rendah purin
Rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada hiperkalsiuria absorbtif type II


DAFTAR PUSTAKA
Doenges, ME. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi.3.Jakarta: EGC
cre : ’06 PSIK USK

Selasa, 04 Juni 2013

JURNAL KEPERAWATAN : Patient-Centered Group Diabetes Care


A practice innovation
Abstract: The purpose of this project was to evaluate the effi cacy of group diabetes care for an underserved population using a patient-centered approach with the inclusion of interactive diabetes self-management education. In place of the traditional offi ce visit, patients attended three group visits. Improvements in diabetes knowledge and patient-perceived self-effi cacy resulted.
Key words: diabetes, diabetes self-management education, group care, group medical appointments
By Jana L. Esden, DNP, ARNP, FNP-BC, and Mary R. Nichols, PhD, APRN, FNP-BC

The purpose of this clinical Doctor of Nursing Practice (DNP) capstone project was to implement an innovation in diabetes care by utilizing a group approach for a patient-centered model of care that included interactive diabetes self-management education at a free clinic in Central Florida. This group care innovation was designed to increase diabetes knowledge and patient-perceived self-efficacy, improve patients’ attitudes toward diabetes, and reduce barriers to diabetes self-management behaviors for the underserved patients at the free clinic.
Background
During the early 21st century, type 2 diabetes mellitus became one of the most common chronic diseases seen worldwide, affecting an estimated 194 million people. Currently in the United States, 26 million people have diabetes.As  result of obesity, sedentary lifestyles and increasing age, the prevalence of type 2 diabetes is expected to surge to 333 million people within the next 15 years.1,3 Diabetes Self-Management Education (DSME) has long been shown to be a cornerstone of diabetes management. According to Tang et al., DSME can help improve both metabolic and psychosocial outcomes. Although DSME improves outcomes initially, the effect of the teaching may last less than 6 months without ongoing support and additional educational resources. Group care can be used to deliver interactive, patient-centered diabetes education and care. Some models of group care, such as the Centering Model, include a short, individual appointment with a healthcare provider for each patient prior to group education and support.6 The 5- to 10-minute session includes a brief, individual physical assessment and a discussion of any clinical abnormalities, lab abnormalities, or personal concerns that the patient does not wish to share with the group. Other models of group care, such as those designed by Trento and colleagues, only provide individual care to patients who request a private visit and to those with clinical or lab abnormalities. With this model, individual assessments are not completed outside of the group for all patients. The Centering Model and the group visits designed by Trento and colleagues use empowerment-based strategies. Both models have consistently demonstrated improved physiologic and psychosocial outcomes for patients. Additionally, the evidence suggests that such models are fi nancially and logistically feasible. Despite a growing body of evidence suggesting that diabetes education should be patient-centered and interactive, a local diabetes self-management education program in Central Florida continues to be clinician-centered, either taught in group-lecture format or as individual education given by the provider at the time of the offi ce visit. Research also demonstrates that diabetes education needs to be ongoing; a one-time program is not suffi cient to maintain positive outcomes. In Central Florida, the only diabetes education program available to the underserved population of a free clinic is a one-time, clinician-centered diabetes education class.
Methods
Institutional Review Board approval from Frontier Nursing University and a letter of support from the clinic were obtained. Participants with type 2 diabetes were recruited for the project via personal communication at offi ce visits and by phone calls to patients from offi ce staff. Program participants were required to speak, read, and write in English. To compensate participants for their time, a $50 gift card was given to patients who attended all three sessions.The participants completed three measurement tools pre- and post-intervention to assess diabetes knowledge, patient perceived self-effi cacy, attitudes toward diabetes, and barriers to diabetes self-care behaviors (see Assessment tools). All tools were downloaded without cost from the Michigan Diabetes Research and Training Center website. Diabetes knowledge was measured with the Michigan Diabetes Research and Training Center’s (MDRTC) Brief Diabetes Knowledge Test. Patient perceived self-effi cacy was measured with the Diabetes Empowerment Scale, created at the Michigan Diabetes Research and Training Center. Diabetes attitudes and barriers toward self-care behaviors were measured with the Diabetes Care Profi le (DCP). All tools were analyzed and found to be valid and reliable. In addition to the three measurement tools administered pre- and post-intervention, participants also completed a patient satisfaction survey administered after the fi nal session. This survey included eight items with a Likert scale 1 through 5, 1 being “strongly disagree” and 5 being “strongly agree.” For all eight items, a high score of 5 was a positive score. Participants were also given an opportunity to describe what they liked most about the sessions and what they liked least. The first of three group sessions was held in January 2012, and 10 of 12 scheduled patients arrived at the clinic to participate. After obtaining written informed consent from each patient, participants completed the pre-intervention assessment tools. The nurse practitioner (NP) program facilitator was available to answer any questions. Patients had free access to restrooms and to complimentary food and beverages during this time. Diabetes group care sessions were held once monthly for three sessions, and each session lasted approximately 2.5 hours. The first and last sessions included an additional hour to complete pre- and post-intervention assessment tools. When participants arrived, they had assistance in measuring their own vital signs, including temperature, BP, pulse, height, and weight. The participants completed a review of systems form and brought the information to the NP project coordinator for a brief individual assessment and focused physical exam. In addition to a focused physical exam, abnormal lab fi ndings were discussed with each patient. Following individual time with the NP, patients had the opportunity to interact with other participants, review information from their diabetes course binders, and snack on healthy food and beverages. During this time, participants also completed a self-directed tool for the development of personalized goals for the next month. This contributed to the patient-centered approach to care, as patients choose these goals to fi t with their priorities, resources, and culture. At each of the three sessions, group diabetes education consisted of an opening activity that promoted group cohesiveness, interactive diabetes education, and a refl ective closing activity. For example, at the fi rst session’s opening activity, patients paired off, and after 10 minutes of discussion, each patient introduced his or her partner to the group and included interesting facts about the person. In the opening activities for the second and third sessions, patients shared challenges they had faced since the last session. For closing activities, patients discussed changes they would make to control their diabetes and shared one aspect of group care that had helped them meet their health goals. Group education at the fi rst session consisted of pathophysiology of diabetes and extensive information on diet changes and choices. For example, a group activity helped patients identify foods as carbohydrates, proteins, fruits, or vegetables. This was followed by a discussion about dietary needs, portion sizes, and barriers to a healthy diet with suggestions about how to overcome those barriers (see Group education topics by session). Group education at the second session focused on an explanation of the different types of medications prescribed
for diabetes, barriers to the proper administration of medications, and ways to overcome those barriers. Participants compared medications with other members of the group, and group members were often the source of ideas for overcoming barriers to medication adherence. The group also discussed self-monitoring blood glucose levels and managing hypoglycemia and hyperglycemia. At this visit, all participants received a package of glucose tablets as an example of a proper remedy for hypoglycemic episodes. At the final session, participants received a copy of their most recent lab results. They recorded their most current BP, hemoglobin A1C, fasting glucose, triglycerides, high-density lipoprotein, and low-density lipoprotein levels in their personal binder, so they could determine whether or not they were at goal. These results were then used for a discussion on risk factor reduction. This particular activity was designed to help patients understand how to read their lab results and to serve as a future reference in assessing goal attainment.
During the last session, group members identifi ed types of exercise they enjoyed. Walking was highlighted as a lowcost, low-impact, and feasible activity for the patients. Each participant received a free pedometer to encourage them to walk for exercise. Finally, the group discussed preventive care, such as eye and foot exams, and played a diabetes quiz game prior to a fi nal closing activity. The fi nal refl ective closing activity was a group-bonding activity using a yarn web where each participant held a yarn ball and stated what the group had meant to him or her. The participant then tossed the yarn ball to another participant across from them, which created a yarn web representing the connection between group members. At the end of the final session, participants again completed the Short Diabetes Knowledge Test.

Sabtu, 01 Juni 2013

6 Manfaat dari Buah Alpukat

1. Menyehatkan Mata
Manfaat yang pertama adalah mampu menyehatkan mata. Seperti yang
sudah bisa ditebak, buah alpukat banyak mengandung vitamin A. Selain
wortel, buah alpukat memang dikenal sebagai buah yang banyak
mengandung vitamin A. Konsumsilah buah alpukat sebagai pemasok
vitamin A ke tubuh anda. dengan ini mata anda akan lebih sehat dan selalu
dapat memandang sesuatu dengan jelas.
2. Menyehatkan Kulit
Buah alpukat mampu menyehatkan kulit. Ini dikarenakan buah alpukat
banyak mengandung vitamin E yang memang dikenal baik bagi kulit.
Dengan mengkonsumsi buah alpukat setiap hari di pagi dan sore hari,
maka kulit anda akan tampak selalu terlihat segar, lebih muda dan lebih
kencang. Selain itu buah alpukat juga dapat mengurangi kerutan pada kulit
anda. Selain dikonsumsi anda juga dapat menggunakan buah alpukat
sebagai masker kulit. Caranya dengan menghaluskannya terlebih dahulu,
lalu oleskan pada kulit dan diamkan selama 10-15 menit. Maka kulit anda
akan berubah lebih kencang, lebih muda dan sehat alami.
3. Menurunkan Kadar Kolesterol Dalam Darah
Selain memiliki berbagai vitamin seperti yang telah dijelaskan di atas, buah
alpukat juga mengandung banyak lemak tak jenuh. Lemak tak jenuh
dikenal sangat bermanfaat untuk menurunkan kadar kolesterol dalam
darah. Disamping itu lemak tak jenuh yang dimiliki alpukat juga
mengandung anti bakteria dan anti jamur. Dengan demikian buah alpukat
dapat mencegah penyakit stroke, darah tinggi, jantung bahkan kanker.
4. Mengurangi Depresi
Mengkonsumsi buah alpukat dapat mengurangi depresi yang anda derita.
Hal ini dikarenakan kandungan Potasium atau Kalium yang ada di buah
alpukat. Potasium ini telah terbukti mampu mengurangi depresi yang
diderita oleh manusia. Selain itu, potasium juga dikenal mampu
menurunkan pengendapan cairan yang ada di dalam tubuh sehingga
dapat menurunkan tekanan darah.
5. Mencegah Penyakit Anemia (Kekurangan Darah)
Buah alpukat dapat mencegah penyakit anemia atau kekurangan darah
karena banyak mengandung zat besi dan tembaga. Kedua zat ini sangat
dibutuhkan oleh tubuh untuk membantu melancarkan proses regenerasi
darah. Karena proses regenerasi darah menjadi lancar, maka tubuh tidak
akan kekurangan darah dan andapun terhindar dari penyakit anemia.
6. Mampu Menangkap Radikal Bebas Dalam Tubuh
Manfaat yang terakhir adalah mampu menangkap radikal bebas yang ada
di dalam tubuh. Radikal bebas dalam tubuh dapat menyebabkan
kebugaran tubuh anda berkurang sehingga anda dengan mudah dapat
terkena penyakit. Lebih parahnya lagi, radikal bebas yang ada di dalam
tubuh dapat memicu berkembangnya tumor. Dengan mengkonsumsi
buah alpukat, maka radikal bebas yang berbahaya tersebut dapat di
keluarkan dari dalam tubuh.
Manfaat Buah Alpukat Bagi Kesehatan tersebut sudah terbukti dan telah
diakui oleh para ahli kesehatan. Dengan mengkonsumsi buah alpukat
secara teratur setiap hari, berarti anda mengurangi resiko terkena penyakit.
Jika anda bosan mengkonsumsinya sebagai jus buah, anda dapat
mencobanya dengan membuat puding alpukat atau es cream alpukat.
Banyak cara yang bisa anda gunakan untuk mengkonsumsi buah alpukat
yang kaya akan nutrisi. Tetaplah jaga kesehatan tubuh anda.

SINUSITIS

Sinusitis merupakan suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur.
Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus paranasal. Sinus paranasal adalah rongga kosong yang terdapat di sekitar hidung yang berfungsi untuk menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara pada rongga hidung. Terdapat empat sinus yaitu sinus maksilaris ( terletak di pipi) , sinus etmoidalis ( kedua mata) , sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sfenoidalis ( terletak di belakang dahi). Sinus menghasilkan cairan mukus yang akan didrainase ke hidung. Pada pasien sinusitis, saluran ini tersumbat sehingga menimbulkan gejala-gejala sinusitis. Sinusitis dapat terjadi secara akut, subakut, maupun kronis tergantung dari lama penyakitnya.
Penyebab sinusitis :
1.Hidung tersumbat antara lain disebabkan oleh infeksi virus flu di saat tubuh kurang fit. Infeksi yang menyerang di sekitar hidung dan tenggorokan ini tak jarang menjalar ke sinus (rongga di sekitar hidung yang mengalirkan lendir).
2.Radang pada rongga hidung ini bisa juga disebabkan oleh cara kita membuang ingus yang salah. Ingus yang seharusnya keluar malah tersedot masuk ke rongga sehingga susah dikeluarkan. Dapat disebabkan oleh virus, bakteri, atau jamur.
3.Kuman yang biasa menyerang adalah streptococcus pneumoniae dan haemo philus influenzae yang ditemukan hampir pada 70% kasus.
4.Dapat juga disebabkan oleh radang ditempat lain yang berdekatan misalnya radang tenggorokan, radang amandel, radang pada gigi geraham atas, kadang juga disebabkan karena berenang, menyelam, trauma tekanan udara (biasanya pada awak pesawat).
5.Allergi dapat memperberat penyakit ini, sehingga orang yang memang telah mengidap alergi akan lebih mudah terkena radang sinus ini.
Siapa saja yang rentan terkena sinusitis?
1.Perokok, karena hawa panas yang dihisap dapat merangsang organ di sekitar hidung sehingga menimbulkan iritasi dan memperbesar kemungkinan timbulnya sinusitis.
2.Penderita alergi. Perubahan temperatur dan kelembaban yang mencolok dapat mengakibatkan peradangan di dalam hidung yang mungkin merambat ke dalam sinus.
3.Perenang.
4.Penderita influenza, dan;
5.Mereka yang tinggal di udara kering.

Bagaimana tanda dan gejalanya?
1.Nyeri dan merasa tertekan pada wajah
Nyeri tumpul berdenyut atau tekanan yang merupakan tanda utama sinusitis terjadi akibat tekanan yang ditimbulkan oleh jaringan yang meradang pada ujung-ujung saraf di dinding dalam sinus anda. Sinusitis frontalis menyebabkan nyeri dahi atau sakit kepala. Sinusiti maksilaris menyebabkan nyeri pipi yang dapat menjalar ke gigi di rahang atas. Sinusitis etmoidalis menyebabkan nyeri di antara mata. Sinusitis sfenidalis menyebabkan nyeri di belakang mata, di puncak kepala, atau di sepanjang tengkuk.

2.Hidung tersumbat
Pembengkakan selaput hidung dan peningkatan pembentukan lendir menyebabkan anda sulit bernafas melalui hidung. Penyumbatan ini dapat mengenai satu atau kedua sisi hidung.

3.Postnasal drip
Lendir secara normal mengalir dalam jumlah kecil ke dalam hidung dan turun ke belakang tenggorokan sebelum tertelan. Selama infeksi produksi lendir meningkat, lebih kental dan berwarna kuning atau hijau. Perubahan warna lendir disebabkan oleh campuran bakteri dan sel darah putih, sebagai tanda bahwa tubuh telah melawan infeksi yang berlangsung. Lendir yang kental dan berwarna hijau ini seringkali turun ke tenggorokan dan disebut postnasal drip.

4.Berkurangnya daya penciuman
Membengkaknya selaput di hidung dapat menghambat molekul bau yang anda hirup mencapai reseptor penciuman sehingga daya penciuman anda menjadi berkurang.

5.Berkurangnya daya pengecap
Indra pengecapan yang normal bergantung pada keutuhan sensasi penciuman. Sehingga terganggunya indra penciuman akan menyebabkan berkurangnya fungsi indra pengecap.

6.Napas berbau
Lendir kehijauan yang terinfeksi mengandung bakteri dan bahan buangan yang mengeluarkan bau busuk.

7.Batuk
Ketika lendir mengalir ke bagian belakang tenggorokan, mungkin akan menentuh pita suara dan memicu respon batuk.

8.Pilek yang berlangsung lama
Biasanya penderita tidak menyadari dirinya terkena sinusitis, karena gejalanya sering didahului pilek yang berlangsung lama sehingga dianggap biasa.

9.Bila sudah terjadi penumpukan cairan dalam rongga maka kepala menjadi sakit, terutama jika sedang menunduk.

Untuk mendiagnosis sinusitis, dokter akan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan antara lain adalah pemeriksaan transiluminasi, yaitu dengan cara menyinari daerah sinus dengan senter di ruang gelap. Pemeriksaan lain yang dapat membantu untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan lab, endoskopi, xray, ct-scan, tes alergi, dan kultur bakteri dan resistensi.
Pengobatan
Pengobatan sinusitis dilakukan sesuai dengan gejala dan penyebabnya. Untuk menghilangkan nyeri dan sakit kepala dapat diberikan obat parasetamol. Pemberian dekongestan juga dapat dilakukan untuk mengurangi sumbatan. Apabila terdapat infeksi, maka diberikan antibiotik. Sedangkan jika disebabkan oleh alergi, maka obat alergi menjadi pilihan.
Walaupun terlihat sepele, sinusitis juga dapat mengakibatkan permasalahan serius terutama jika infeksi meluas hingga otak. Oleh karena itu, jika anda merasakan gejala-gejala sinusitis seperti di atas, segera periksa ke dokter terdekat.
Berikut adalah tips untuk penanganan sinusitis :
1.Pemberian antibiotik, untuk mengobati infeksi yang terjadi.
2.Kompres hangat dengan memakai handuk untuk mengurangi nyeri di sekitar wajah.
3.Tinggal di lingkungan udara yang bersih.
4.Mencegah lebih baik daripada mengobati. Banyaklah mengkonsumsi vitamin c apabila dirasa tubuh kurang fit dan rajinlah berolahraga untuk mempertebal daya tahan tubuh kita. Apabila terkena penyakit pilek yang membandel atau serangan flu lebih dari seminggu.
5.Manfaatkan dengan air panas. Saat mandi, gunakan shower air hangat, usap dahi, hidung, dan dagu dengan waslap yang dibasahi air panas, agar lubang hidung terbuka lebar. Rongga hidung yang kering lebih mudah terinfeksi daripada yang basah.
6.Perbanyak memakan makanan yang pedas, umumnya makanan berbumbu pedas dapat memperlebar lubang hidung.
7.Usahakan hidung selalu dalam kondisi lembab, terutama tatkala cuaca di luar panas terik.
8.Perbaiki daya tahan tubuh. Caranya, istirahat yang cukup dan makan panganan yang penuh gizi, kurangi merokok atau kalau bisa berhenti merokok.

PENCEGAHAN KANKER

Penyebab kanker yang belum bisa diketahui secara pasti, membuat para dokter tidak hentinya mengampanyekan pencegahan kanker.

Ada beberapa hal termasuk pola gaya hidup yang perlu diubah untuk menghindari kanker

1. Ganti segera panci atau penggorengan yang sudah lama

Ganti segera panci dan penggorengan yang sudah lama dipakai. Apalagi jika alat memasak Anda sudah ada yang gosong.

Gosong itu biasanya memiliki senyawa asam PFOA (asam perflurooctanic) yang berbahaya. Karena bisa meresap ke makanan. Asam ini diteliti berhubungan dengan pertumbuhan kanker.

2. Berhenti merokok dan jangan menghirup asap rokok

Memang ini pencegahan yang klasik. Tapi sudah banyak kasus penyakit kronis yang disebabkan oleh kebiasaan merokok.

"Satu rokok sehari saja bisa meningkatkan risiko kanker paru-paru, kandung kemih, ginjal, tenggorokan dan mulut. apalagi jika kebiasaan ini dilakukan setiap hari dan bertahun-tahun,".

3. Hindari matahari

Sumber vitamin D yang berasal dari matahari saat ini tidak sebaik dulu. menurut Sunesara, bahaya matahari bisa menyebabkan seorang terkena kanker kulit.

"Hindari paparan sinar UV dan jangan lupa untuk mengenakan tabir surya setiap keluar rumah".

4. Menjaga berat badan

Obesitas atau kelebihan berat badan juga akan meningkatkan risiko kanker. Untuk mencegahnya, jika perlu Anda harus menurunkan berat badan. Berpikirlah untuk sehat agar bisa mengurangi risiko kanker Jangan lupa mengukur BMI Anda secara teratur.

5. Pilih Cuci tangan dengan air dan kurangi penggunaan Hand Sanitiser

Triclosan saat ini banyak ditemukan dalam semua produk pembersih tangan dan produk perawatan tubuh. Tapi penggunaan yang terlalu sering ternyata bisa menyebabkan iritasi, gangguan hormon dan kanker.

disarankan untuk memilih sabun biasa atau air saja, karena lebih efektif sebagai sabun antibakteri.

6. Kurangi penggunaan ponsel

Ponsel memiliki frekuensi yang dapat merusak otak Anda. Menurut Laporan Panel Kanker, frekuensi tersebut dapat merusak sel-sel otak dan dapat menyebabkan kanker otak dalam jangka panjang. Gunakan ponsel hanya untuk menelepon atau mengirim pesan dan tetap gunakan hands free untuk mengurangi efek frekuensinya.

7. Minum banyak air

Minum banyak air dapat mengurangi risiko kanker kandung kemih. dengan cara pengenceran konsentrasi agen penyebab kanker dalam urin dan membantu untuk flush mereka melalui kandung kemih lebih cepat. Jadi mengkonsumsi air yang cukup sepanjang hari.

8. Jangan pernah mengabaikan nyeri

Jika Anda mengalami rasa sakit atau kembung selama beberapa hari, maka jangan mengabaikannya. Bisa jadi tanda-tanda ini merupakan jenis kanker tertentu. Jadi, setiap kali Anda mengalami jenis sakit, cari bantuan medis segera.

9. Hindari scan yang tidak perlu

Meskipun CT scan dan sinar-X adalah salah satu alat diagnostik terbaik, tetapi berlebihan yang dapat menempatkan Anda pada risiko yang lebih tinggi terkena kanker. Sinar tinggi dipancarkan dari alat diagnostik ini dapat memicu leukemia, jadi hindari scan yang tidak perlu atau memilih pengganti jika memungkinkan.

10. Kurangi makan daging yang digoreng

Senyawa penyebab kanker akan terbentuk ketika lemak dari daging menetes ke api. Dengan demikian, untuk mencegah kanker cobalah untuk mengukus atau merebus daging.












 

This Template is Brought to you by : AllBlogTools.com blogger templates